FKIP UAD Siapkan Calon Pendidik untuk Pendampingan ABK
Yogyakarta. Generasi bangsa yang unggul perlu dipersiapkan sejak dini sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan anak. Sebagai seorang calon guru, mahasiswa perlu dibekali pengetahuan tentang hal tersebut sehingga mampu menghasilkan generasi yang diharapkan oleh bangsa. Dalam rangka membekali calon guru tentang karakteristik dan kebutuhan anak, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan (FKIP UAD) menyelenggarakan Kuliah Umum Kepakaran Perkembangan Peserta Didik yang bekerja sama dengan Asosiasi Disleksia Indonesia (ADI). Kegiatan ini diselenggarakan pada Senin, 9 Juli 2018 bertempat di Aula Kampus IV UAD. Peserta kegiatan adalah mahasiswa FKIP yang mengambil mata kuliah Perkembangan Peserta Didik (semester 2) dan dihadiri pula oleh guru-guru dari beberapa Sekolah Mitra FKIP UAD. Kegiatan dibuka oleh Rektor Universitas Ahmad Dahlan, Dr. Kasiyarno, M.Hum.
Tema kegiatan adalah “Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Paripurna dari Anak Berkebutuhan Khusus untuk Mendapatkan Generasi Masa Depan yang Baik”. Kuliah Kepakaran ini menghadirkan Ketua ADI, Dr. Kristiantini Dewi, Sp.A dan Kepala Divisi Neurologi Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Dr. Purboyo Solek. Sp.A(K).
Menurut Kristiantini, dysleksia adalah kesulitan belajar spesifik yang meliputi kesulitan bahasa (lisan, tulisan, sosial) serta gangguan executive function (kemampuan planing, organizing, penentuan skala prioritas, manajemen waktu, fokus, dan meregulasi emosi). Dysleksia bukanlah suatu penyakit sehingga tidak ada obatnya. Meskipun demikian, dysleksia dapat ditangani dan dalam penanganannya penyandang dysleksia harus didampingi.
“Dysleksia ini terjadi karena faktor keturunan. Dalam hal ini, terdapat kelompok resiko dysleksia yang terdiri atas anak-anak yang memiliki riwayat dysleksia dalam keluarga, riwayat gangguan berbahasa dalam keluarga, serta gangguan bahasa lisan”, tegas Kristiantini yang juga merupakan dokter spesialis anak ini.
Neurolog anak, Purboyo, menyampaikan bahwa anak berkebutuhan khusus membutuhkan kurikulum yang sesuai dengan kondisi mereka. Agar anak berkebutuhan khusus dapat menerima penanganan sesuai dengan gejala, maka diperlukan diagnosis yang tepat oleh ahli. Dengan demikian, anak berkebutuhan khusus dapat memperoleh penanganan sesuai dengan kebutuhannya dan dapat menjadikan masa depan mereka lebih baik.
“Jika kita tidak membuat diagnosis yang sesuai, maka penanganan juga tidak sesuai. Kurikulum yang mereka dapatkan harusnya tidak seperti kurikulum anak-anak normal lainnya”, ungkap Purboyo.
Berdasarkan pengetahuan yang telah didapatkan dari kedua pakar, diharapkan calon pendidik lebih peka terhadap kondisi peserta didik sehingga anak berkebutuhan khusus memperoleh pendampingan dan penanganan yang tepat dari orang tua dan pendidik di sekolah. Setiap anak berhak untuk mendapatkan masa depan yang baik, dan menjadi tugas dari pendidik untuk dapat mengupayakannya.(H3)