Membentuk Karakter Siswa lewat Pendekatan Humanistik
Oleh: Nur Hidayah, M.Pd (Dosen PGSD FKIP UAD)
(diterbitkan dalam Suara Merdeka Edisi Sabtu 23 Maret 2013)
PEMBELAJARAN, perkembangan, dan pendidikan, merupakan rangkaian peristiwa yang dapat kita dapati sehari-hari. Antara siswa, sebagai pihak yang menerima pelajaran, dengan guru, sebagai pembelajar, dapat ditemukan adanya perbedaan dan persamaan.
Interaksi guru dengan siswa merupakan pola kerja hubungan fungsional. Artinya, guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pihak terdidik. Baik guru maupun siswa sama-sama mempunyai orientasi tersendiri. Meski demikian, orientasi guru dan siswa tersebut dapat dipersatukan melalui tujuan instruksional.
Pada sisi lain, rentang waktu guru dalam mendidik dan mengajar siswa juga sangat terbatas. Artinya, tahapan pengambilan tindakan untuk menjalankan proses belajar-mengajar yang dilakukan oleh para guru sangatlah bergantung pada waktu studi siswa pada jenjang sekolah tertentu. Sebaliknya, tindakan siswa dalam belajar tidak terbatasi oleh ruang dan waktu. Proses belajar yang dilakukan oleh siswa adalah sepanjang hayat, atau sekurang-kurangnya ia akan terus belajar walaupun sudah lulus sekolah. Begitu pula jika ditinjau dari aspek proses belajar.
Proses belajar dan perkembangan merupakan tahapan internal yang mesti di jalani siswa. Pada saat bergumul dengan proses belajar dan perkembangannya, siswa sendirilah yang akan mengalami, melakukan dan menghayati proses kesejarahan, yang nantinya akan memacu proses perkembangan mental mereka.
Syarat-syarat perkembangan mental seseorang dapat terjadi apabila di dalam dirinya telah memiliki beberapa hal sebagai berikut. Pertama, pertumbuhan jasmani seseorang yang sudah cukup siap. Sebagai ilustrasi dari syarat ini dapat ditunjukkan melalui perkembangan berbahasa yang terjadi setelah organ-organ bicara dan pikirannya siap difungsikan. Kedua, individu belajar, baik atas dorongan sendiri maupun pengaruh dari lingkungan sekitar. Dampak dari semangat itu pun kian jelas, yakni nilai biologinya menjadi baik dan ia makin bertambah semangat, rajin, dan berdisiplin untuk belajar.
Orientasi
Proses interaksi juga harus memiliki orientasi atau tujuan. Antara guru dengan siswa akan terjalin interaksi secara simultan, dengan tujuan untuk meningkatkan perkembangan mental anak didik sehingga menjadi mandiri dan utuh. Karena itulah, pendidikan dapat dikatakan sebagai salah satu wujud satuan tindakan yang memungkinkan terjadinya pembelajaran dan perkembangan.
Pendidikan merupakan proses interaksi yang mendorong terjadinya kegiatan belajar. Implikasi adanya kegiatan belajar yang dilakukan siswa akan sangat memungkinkan terjadinya tahapan perkembangan jasmani dan mental anak didik. Dengan demikian, pendidikan merupakan faktor ekstern yang mampu mendorong terjadinya kegiatan belajar anak didik.
Umumnya, semangat belajar siswa akan semakin kelihatan atau tampak setelah mereka menghadapi beberapa kesulitan, seperti (1) mengetahui nilai ulangan atau ujian lebih buruk dari temannya, (2) nilai indeks prestasi (IP) yang kian menurun dan lain sebagainya.
Adanya beberapa peristiwa tersebut, para siswa/mahasiswa mulai dapat melakukan kajian tentang analisa sederhana dengan bertanya dalam diri sendiri. ”Mengapa nilai saya menjadi jelek?. Jikalau demikian, semester depan saya harus ada peningkatan nilai, agar tidak buruk seperti sekarang.”
Dengan adanya evaluasi diri, para siswa/mahasiswa mulai berupaya untuk mencari solusi pemecahan tentang kesulitan atau masalah yang sedang dihadapinya. Menyadari sekaligus memahami suatu kesulitan yang sedang dialami diri sendiri tentu sangatlah penting. Sikap semacam itu tidak hanya berfungsi untuk manajemen diri, melainkan juga sebuah upaya dalam melihat sisi kelemahan dan kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing individu siswa, atau siapa saja yang sedang dalam proses belajar. Namun, apabila guru tidak memahami hakikat kesulitan belajar siswa, tentu ia akan sulit untuk menentukan jumlah anak didik yang kesulitan belajar.
Ketidakmampuan guru dalam pemahaman ini pada gilirannya akan sulit untuk membuat kebijakan pendidikan bagi anak didiknya. Oleh sebab itu, para guru yang mampu memahami hakikat kesulitan belajar siswa, jumlah dan klasifikasi anak didik dapat ditentukan beserta strategi penanggulangan yang efektif dan efisien.
Karenanya, bagi para calon guru ataupun guru, perlu lebih dahulu memahami hakikat kesulitan belajar anak didik sebelum melakukan pengkajian yang lebih mendalam tentang pendidikan mereka. Untuk alasan itulah, maka perlu dan penting bagi setiap calon guru dan atau guru mengimplementasikan suatu pendekatan humanistik dalam proses pembelajarannya.