“Inkonsistensi” Dunia Pendidikan Indonesia: Telaah Krisis Paradigma Pendidikan di Indonesia
Oleh Atastyawan
SEMUA tentu mafhum, bahwa hakikat dasar pendidikan adalah membangun manusia seutuhnya untuk menjadi pribadi-pribadi unggul-dewasa yang bertanggung jawab. Poin nan mulia itu telah ditegaskan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Galibnya, betapa marwah pendidikan senyatanya memainkan peranan penting untuk memajukan suatu bangsa dan menghasilkan manusia yang utuh, berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas, kewajiban, dan tanggung jawabnya baik dalam dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, muapun bangsanya.
Pun, dengan pendidikan, manusia dibudayakan dan berkebudayaan. Dengan proses pendidikan pula, manusia menuju ke suatu tingkat perkembangan kepribadian agar menjadi kreatif dan produktif dalam menciptakan kebudayaan, membudayakan manusia, dan membina manusia supaya berbudaya. Saking urgennya hakikat “akhir” pendidikan, tak heran, jika banyak yang menyatakan bahwa pendidikan lebih merupakan “investasi masa depan” (education future investment).
Hanya saja, terdapat satu pertanyaan kritis yang patut diajukan: adakah sistem pendidikan (nasional) kita saat ini memang benar-benar telah mendukung bagi tercipta-capainya tujuan pendidikan tersebut? Bukan bermaksud menebar pesimisme, namun lebih karena fakta bicara: betapa jika mencermati-reflektif realitas praktik pendidikan kita selama ini, rasanya hal itu masih jauh panggang dari api. Sebaliknya, jika ditelaah secara mendalam, malah banyak terjadi inkonsistensi dalam pendidikan yang kian memprihatinkan.
Krisis Paradigma
Menelusuri dan mencermati—reflektif—sejumlah pendapat tentang keberadaan dan kondisi jagad pendidikan kita saat ini, betapa multipersoalan pendidikan yang kita hadapi sekarang sebenarnya terjadi lebih karena adanya ”krisis paradigma” (baca: banyak terjadi inkonsistensi) dalam pendidikan, yakni adanya ketidaksesuaian antara tujuan yang ingin dicapai dengan cara yang diguna-terapkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Betapa tidak. Pertama, ketika kehidupan menghendaki agar masyarakat—termasuk para siswa, tentunya—menghargai pluralitas; yang diajarkan kepada peserta didik di sekolah ternyata adalah keseragaman, monolitas. Perilaku yang berbeda dilihat sebagai ”kesalahan” yang harus dihukum karena dianggap sebagai “kelainan sosial” bahkan dicap ”antisosial”.
Kasus “pengebirian”—dan bahkan pengusiran—siswa jujur yang melaporkan adanya perilaku “busuk” contek massal di beberapa sekolah selama pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun silam, merupakan bukti sahih betapa di negeri ini: hidup jujur malah bakal hancur! Tak aneh, pengebirian serupa akan terjadi pada whistleblower kasus korupsi. Jika ada uyang jujur dan melaporkan adanya dugaan korupsi di sebuah lembaga/birokrasi, ramai-ramai para koruptor pasti akan fight back untuk menggiring si jujur ke hotel prodeo. Ironis, bukan?
Kedua, ketika kehidupan menghargai dan mengedepankan pemikiran-pemikiran yang lateral, kreatif-inovatif, dan menghargai kebebasan berpendapat; sekolah justru tidak cukup memberikan kesempatan dan atau ruang bagi orisinalitas yang muncul dari pemikiran individu. Proses pendidikan di sekolah tidak menghargai kebebasan (tentu dalam bingkai yang bertanggung jawab) serta memberi peluang kepada peserta didik untuk berkreasi serta berimajinasi menunjukkan kediriannya. Siswa yang beride kreatif-inovatif dan nyleneh (yang positif) biasanya malah ditakut-takuti dan bahkan ditekan guru karena tak mau manut keumuman yang berlaku ada di sekolah. Siswa ditekan agar tidak neko-neko lagi.
Ketiga, ketika kehidupan menuntut agar siswa memperoleh peluang untuk berkreasi, mengembangkan, dan menunjukkan kemampuannya, pemrosesan informasi, dan interpretasi; apa yang terjadi di sekolah? Proses pendidikan justru didominasi dengan kegiatan mendengarkan, dikte, menghafal, ceramah, mencatat, dan pemaksaan terhadap apa yang dipelajari. Ironis, interpretasi siswa tiada guna, karena kuasa guru adalah utama. Memang, tidak semua lembaga pendidikan di Indonesia menjalankan proses pendidikan dengan seperti itu. Namun, diakui atau tidak, sebagian besar masih menerapkan keketatan semacam itu.
Keempat, ketika kehidupan menghendaki agar peserta didik didorong dan dilatih untuk merekonstruksi pengetahuan dan konsep berdasarkan proses mencari dan mengalami sendiri (inquiry), misalnya melalui kegiatan eksperimen, penyelidikan, pemecahan masalah (problem solving), dan kegiatan praktek lainnya, yang terjadi di sekolah justru kegiatan pembelajaran dilakukan apa adanya sesuai “tradisi”. Proses pembelajaran berpusat pada guru yang didominasi ceramah atau penuangan informasi dan pengetahuan sebanyak-banyaknya (”mencekoki”) ke dalam otak anak.
Kelima, ketika kehidupan menginginkan agar jagad pendidikan didekati dengan paradigma yang mampu menggambarkan hakikat belajar dan pembelajaran secara komprehensif, praktik pendidikan di sekolah justru diwarnai oleh landasan teoritis dan konseptual yang dangkal. Proses pendidikan tidak selaras dengan hakikat belajar, hakikat orang yang belajar, dan hakikat orang yang mengajar.
Keenam, ketika kehidupan menghendaki agar proses pendidikan berubah ke arah budaya partisipatif, ke arah manajemen bottom-up yang berbasis sekolah, ke arah proses pembelajaran bermakna; namun ternyata budaya menunggu juklak-juknis, manajemen top-down dan kurikulum oriented—masih sangat kuat. Mau bukti?
Seminggu terakhir, geger format RPP dan silabus pembelajaran terbaru yang (katanya) harus memuat poin karakter bangsa, memaksa guru harus pontang-panting setengah mati mencari contoh lembar RPP tersebut. Lewat “jalur lambat” tidak kunjung dapat, akhirnya para guru nekat menghalalkan “jalan pintas”: beli CD RPP senilai Rp700 ribu per keping lalu tinggal copy-paste! Hal serupa juga terjadi pada pola program pendidikan “ambisius” macam “Akreditasi”, “Sertifikasi” dan “UN”…Sungguh—meminjam terminologi Prof.Syafii Ma’arif—betapa “mental menerabas” memang seperti telah menjadi “budaya wajib” di negeri berpenghuni 237 juta jiwa ini. Bahkan, belakangan, mental “jalan pintas” kian recalcitrant, bagai gulma yang sangat sulit untuk dihilangkan!
Ketujuh, ketika kehidupan menekankan model pembelajaran yang dialogis-interaktif, mekanisme kerja yang bersifat manusiawi, person oriented, kurikulum yang menarik, mendorong pembelajaran dan pemerdekaan; namun yang dikedepankan malah model pembelajaran yang didominasi instruktif-monolog, penyelenggaraan/pengelolaan sekolah terlalu birokratis-administratif-kaku, pun dan muatan kurikulum yang amat padat.
Kedelapan, ketika kehidupan menghendaki pengembangan kemampuan siswa secara utuh, penciptaan kelompok belajar, erta sistem tutor yang memungkinkan mereka saling mengajar dan belajar, melatih kerja sama, memberi peluang ”pluriformitas”, pendidikan untuk semua (education for all); pengajaran justru masih intellectual centris, mengacu prestasi individual belaka, penyeragaman kurikulum, dan pendidikan elitis. Tak usah jauh-jauh mencari contoh…Fakta menjamurnya SBI-RSBI “karbitan”, bayi-balita 4 tahun direcoki bahasa inggris dan hitung-hitungan, anak dilatih berbohong pada orang lain dengan kedok “keampuhan” kekuatan otak kanan, dan seterusnya-dan seterusnya, silakan diteruskan.
Kesembilan, ketika realitas kehidupan menghendaki agar pendidikan menekankan pada penghayatan nilai-nilai kemanusiaan serta visi dan misi lembaga pendidikan, toleransi dan kebesaran jiwa untuk menerima suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) sebagai kesempatan emas melakukan pendidikan wawasan kebangsaan, menjunjung tinggi sikap inklusif; apa yang terjadi di sekolah? Penghargaan atas sukses materi/formal (yang dikukuhkan dengan nilai ujian/ijazah/wisuda), kepicikan politik yang mengeksploitasi perbedaan SARA sebagai alat adu domba, serta sikap eksklusif masih saja terjadi. Renungkan: parade cumlaude bohong-bohongan, meriahnya pesta wisuda, pelepasan wisuda, dan sebagainya.
Kesepuluh, ketika kehidupan menghargai dan menjunjung tinggi proses, menghargai ada ”banyak kebenaran relatif” dalam kehidupan ini; sekolah justru mengajarkan jalan pintas dan hanya ada ”satu kebenaran” seperti yang tercermin dalam soal-soal pilihan ganda. Dan, masih banyak lagi inkonsistensi dalam proses pendidikan di negeri yang (katanya) telah 66 tahun “merdeka” ini.
Memerdekakan
Berdasarkan realitas proses pendidikan yang seperti ini, pelajaran apa yang dapat dipetik anak-anak didik kita—juga stakeholder pendidikan kita? Apa pula yang terekam dalam ingatan dan yang terbentuk dalam alam bawah sadar (id) anak-anak kita, yang kesemuanya itu pasti akan ”mengkristal”, lalu membentuk jejaring neuron anak-anak kita menjadi imun?
Galibnya, harus disadari betapa vitalnya proses pendidikan untuk membentuk kepribadian anak didik kita. Pola pikir, moralitas, sensitivitas, sosialitas, tingkah laku, dan alam bawah sadar mereka akan sangat ditentukan oleh proses pendidikan yang mereka terima. Apakah proses seperti ini tetap akan kita biarkan berlangsung berlarut-larut? Jika jawabnya “Ya”, maka, mari kita tunggu saja gelombang demi gelombang lost generation menggelontor negeri ini. Hingga jangan pernah coba-coba menggugat jika peradaban adiluhung yang sejak dulu ada sebagai bentuk warisan nenek moyang bangsa “beradab” ini ternyata harus sirna dari negeri “bocorannya surga” ini.
Pun, sebagai konklusi, pendidikan hendaknya diabdikan pada pengembangan dan optimalisasi hakikat kemanusiaan peserta didik. Hak peserta didik sebagai anak harus diberi peluang seluas-luasnya. Untuk itu suasana pembelajaran yang menyenangkan dan memerdekakan harus terus dicipta-upayakan.
Hanya dengan demikianlah kiranya, pendidikan di negeri ini akan berhasil melahirkan pribadi-pribadi yang visioner, kreatif-inovatif, mampu bertindak komunikatif-eksploratif, pluralistik, tidak gampang putus asa (fatalistik), menghargai sesama, dan berpikir multidimensional. Semoga begitu.(*)
Atastyawan, mahasiswa Pendidikan Fisika angkatan 2011
Naskah diterima redaksi 06 Januari 2012.