Syafaat
Cerpen oleh Atastyawan
Kencan Pertama
“Kau seorang mukmin, pantaskah berpakaian seperti itu.” Zaara menoleh cepat, mata mereka bertemu. Mata Zaara yang tajam bertanya, mata Elon yang mengkilat menantang. Pembicaraan seru berjalan bisu, dengan bahasa mata, bahasa muda-mudi. Seorang pelayan yang minta permisi sambil mengangkat dua piring kosong di meja bundar kafe menginterupsi perdebatan sepi itu.
“Bagaimana kau tahu aku seorang mukmin?” Dengan nada tanya yang penuh kebencian Zaara menangkis serangan Elon. “
Karena aku seorang mukmin”, jawaban datar tanpa ekspresi seperti jawaban seorang profesor astronomi atas pertanyaan anak SD: “Pak, apa bentuk bumi?”
Zaara tersenyum sinis. Merasa sedikit menang dia segera balik menyerang.
“Lalu bagaimana kau tahu kau seorang mukmin?” “Karena aku seorang mukmin!” jawaban yang sama dengan nada yang berlawanan, seperti membentak pelan. Mata mereka kembali bertemu, pandangan yang sama.
“Sombong amat kau!” Zaara membentak lewat percakapan matanya. Zaara lalu tersenyum.
“Aku tak pernah shalat.”
“Iman itu abadi.”
Pandangan mereka bertemu untuk kali ketiga.
“Aku cabut dulu, ada kuliah.” Zaara mengakhiri pertengkaran mata itu dengan wajah dingin dan mengejek.
***
Zaara menutup pintu kamar, berbaring di tempat tidurnya. Terlentang. Waktu-waktu seperti ini adalah waktu yang benar-benar dia nikmati sebagai waktu miliknya sendiri. Kalau wanita lain umumnya menikmati waktu untuk dirinya sendiri saat di kamar mandi berendam dalam bath-up atau di bawah shower, memanjakan tubuhnya dengan sabun dan air hangat, Zaara memanjakan pikirannya dengan melepaskan semua kepenatan mentalnya.
“Kau seorang mukmin”.
Kata-kata itu kembali terdengar di telinganya, bukan seperti yang dikatakan Elon siang tadi di kafe kampus, kali ini dia sendiri seperti berkata pada dirinya sendiri.
“Tuhan adalah simbolisasi ketakutan universal”.
Dia seperti berdiskusi dengan senjata utama super ego untuk menekan id ke alam bawah sadar. Imajinasi terhebat manusia akan sesuatu yang agung di luar dirinya. Tuhan adalah obat penenang bagi si miskin, pembalut borok kejahatan para konglomerat, pelepas dahaga para pengecut dan orang-orang yang putus asa. Tuhan adalah senjata para penguasa untuk menguasai,.” Malam mengalir, Zaara tertidur…
Kencan Kedua
“Aku mencintaimu.”
Anak ini sungguh tak punya romantisme sama sekali. Pernyataan cinta yang kosong, tanpa hasrat, datar, dan dingin. Zaara hanya melirik Elon yang duduk di sampingnya. Dia kali ini benar-benar merasa terganggu. Perpus adalah tempat yang paling dia sukai karena ketenangannya, tenang tapi ramai dipenuhi buku. Tempat yang paling baik untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang terkadang dirasakannya seperti pemburu yang mengejar sambil mengokang senjata: sekali dia lengah, luka tembakannya akan lama tersembuhkan.
Zaara mengernyitkan alis. Dia tak mau memandang lelaki yang menurutnya janggal dan aneh itu. “Mungkin lelaki ini satu dari sekian banyak orang yang telah gila karena terlindas roda kemajuan di kota ini”, pikirannya lebih berani mengambil kesimpulan.
“Kau jangan mengigau di siang bolong, manusia tak tahu diri!” jawaban tegas dari seorang wanita terhormat. Yang dihentak malah tersenyum.
“Mungkin kau yang sedang bermimpi!”
Demikian nyaring kalimat itu hingga menggema ke seluruh ruangan. Elon beranjak setelah meletakkan buku yang sedari tadi dipegangnya.
Zaara menggelengkan kepala, sebuah usaha fisik untuk melupakan apa yang telah dia lihat dan dia dengar barusan. Entah apa yang mendorong Zaara untuk melihat buku yang ditinggalkan Elon.
‘Tahafutul Falasifah’. Kerancuan para filosof, karya Imam Ghozali yang mengecam para filosof sebagai kafir. Zaara mengernyitkan hidung, “Candu homo sapiens!”
***
“Ma…!”
“Ada apa sayang.”
Zaara membalikkan badan membelakangi laptopnya. Dengan lembut dia mengusap rambut anak bungsunya.
“Tamu papa siapa sih?”
Tak biasanya Vicky menanyakan tamu papanya.
“Mungkin teman sekantor papa”.
Vicky menundukkan kepala, dia seperti tak puas dengan jawaban itu. Setelah Zaara melepaskan usapan tangan dari kepalanya, bocah dua tahun itu segera berlari kembali ke beranda samping menghamburi kakaknya. Zaara menarik nafas, melepaskan perlahan.
”Siapa tamu papa? Kenapa Vicky menanyakannya? Biasanya anak itu tak pernah memedulikan tamu-tamu yang selalu datang saat sore begini..”
Zaara mematikan laptop, menutupnya lalu melangkah keluar. Dari ruang depan dia bisa melihat tamu yang ditemui suaminya di beranda. Kemeja coklat celana hitam, rambutnya sudah mulai beruban di sana sini.
Di depan pintu Zaara mematung, “Si orang gila yang dulu”. Zaara langsung mengenali orang itu dari senyumnya yang lugu tapi sedikit terkesan licik, mata yang tak lebar dan tak juga sipit tapi mengkilat menantang, tahi lalat kecil di pipinya sebelah kiri di samping hidung,
“Gila! Dia terlihat lagi.” Zaara menenangkan diri agar suaminya tak curiga.
“Oh, kenalkan ini istri saya, Zaara. Ma, ini Pak Elon yang membantu papa membetulkan mobil papa waktu mogok kemarin, yang Papa ceritakan tadi malam”.
Elon mengulurkan tangan dan menyuguhkan senyum seperti dulu, Zaara memberikan tangannya. Betapa berat dia menggerakkan bibirnya untuk memberikan kesan senyuman.
“Saya Elon”, sapaan yang hangat.
“Zaara”, datar dan dingin. Zaara duduk di samping suaminya.
“Pak Elon ini mau membangun sekolah dasar di kompleks kita ini. Kebetulan kan, Ma, jadi Vicky tak perlu jauh-jauh sekolahnya nanti”. Sekarang lebih berat lagi bagi Zaara untuk tersenyum, dia hanya melebarkan bibirnya sebentar. “Sayangnya Papa sedang mengerjakan kontrak lain, kalau tidak, Papa yang akan menangani pembangunan sekolah itu”. “Saya telpon Pak Mustafa dulu, mungkin dia bisa menangani pembangunan sekolah anda”.
“Terima kasih”.
Kini tinggal mereka berdua, hening.
“Anda sepertinya punya keluarga yang bahagia?” Elon memulai kembali.
“Ya.” tetap datar dan dingin.
“Bagaimana keluarga anda?” Zaara melirik tamunya. Yang ditanya kembali tersenyum, lebih lebar.
“Saya belum menikah”.
Kali ini Zaara menoleh, tapi Elon lebih dulu menunduk.
***
Nafasnya terasa semakin menyesakkan, jantungnya terasa semakin nyeri saat memikir. Zaara menangis, air matanya mengalir deras seperti tiada putusnya, bercampur dengan ingus dan darah dari pelipisnya. Kepalanya memberat, sekujur tubuhnya menegang. Langit telah benar-benar rubuh menimpanya. Tangannya meremas sprei tempat tidur yang putih bergaris hitam. Zaara terisak-isak menahan rasa sakit yang sangat. Segunung beban menindihnya. Teramat pedih dan panas di dalam perasaannya. Gelap di matanya, tak dapat lagi dia melihat sekeliling. Sunyi di telinganya, tak dapat lagi dia mendengar gaduh dokter dan suster-suster yang berusaha menyambung hidupnya. Lidahnya mengejang, tak dapat lagi dia teriakkan keluhan.
“Aku akan mati…” Pikirannya bukan menghibur, malah ikut menindihnya.
“Tuhan…” batinnya berteriak. Menggaung di telinga rasanya. Tiba-tiba dirasakan sesuatu yang dingin menyentuh dahinya, mengusap rambutnya. Tampak di matanya seorang yang amat dia kenal tapi selalu dia abaikan, berbaju dan bersorban serba putih, wajah yang hening bercahaya, tersenyum lugu dan berwibawa ‘Elon’.
“Muhammad Rasullullah..!”, Zaara berbisik pelan. Semua beban yang menghimpit dilepaskannya, Zaara tak lagi menangis. Tangannya melemah. Melepaskan semua yang masih dia pegang. Keheningan itu seperti menembus, mengalir ke sekujur tubuhnya, sampai ke setiap sel darahnya. Dingin dari sentuhan itu merendam keseluruh tubuhnya dalam kedamaian. Zaara memejamkan mata.
***
Upacara penguburan itu berlangsung sederhana. Setelah doa yang dipimpin seorang pendeta, peti coklat mengkilap itu mulai ditimbun tanah. Sedikit demi sedikit, hingga tak terlihat, dan yang sekarang tampak hanya gundukan tanah memanjang. Semua yang hadir membubarkan diri. Vicky menatap polos tak berkedip makam mamanya. Seorang lelaki yang berpakaian serba hitam seperti orang-orang yang hadir di pekuburan itu mendekatinya dan berjongkok di depannya. Orang itu mengusap pipinya, lembut.
“Om tamu papa kemarin, ya?” Orang itu tersenyum.
“Siapa namamu?”
“Vicky…”
“Aku Ibrahim”
Orang itu melepaskan usapan tangannya dari Vicky, tersenyum sekali lagi lalu beranjak. Vicky terus menatapnya sampai dia menghilang di kerimbunan pohon.
***
Tiap kamis sore aku mengunjungi pemakaman ini. Membersihkan makam ayahku, membaca tahlil, Surah Yasin, dan mendoakannya. Nisannya sudah mulai kusam, tapi tulisan di sana masih jelas terbaca “Muhammad Ismail (Vicky) binti Zahra’. Lahir: 5 Mei 2003. Wafat: 10 Agustus 2060.” Di atas makam ayahku, adalah makam nenekku, tapi pada nisannya tertulis nama yang berbeda dari yang kutahu dari ayahku. Di sana tertulis “Zaara. Meninggal: 21 April 2006”.
Kata ayah, nenek meninggal sewaktu kecelakan mobil. Di samping kanan makam nenekku ada sebuah makam yang dulu sering dikunjungi ayah untuk berdoa di sampingnya. Pada nisannya tak tertulis apapun. Tak ada yang tahu itu makam siapa. Hanya menurut ayah, orang yang dimakamkan di situ bernama …Ibrahim.
Atastyawan, mahasiswa Pendidikan Fisika FKIP UAD.