Malam Terakhir dengan Ayah
Sebuah cerpen oleh Arif Saifudin Yudistira*)
“Aaaaaaaaaaaaaaaahhhh……………………..”.
Ayah………………,
Tidak………………………….!!!.
Aku memeluk ayahku erat-erat. Seperti tak pernah bertemu kembali dengannya. Seperti biasa, aku selalu menyayangi ayah. Ayah adalah yang paling mengerti apa yang kumau. Aku tak tahu percakapan yang dilakukan dua minggu kemaren. Yah…..di ruangan ini, aku tak menyangka, ayah telah pergi…..
Tiba-tiba pikiranku melayang-layang membawaku ke masa laluku.
“Nak,,,,,kamu jangan nakal lagi yah…..jangan lupa belajar…..jangan malas…..kalau kamu malas, kamu gak bisa jadi anak yang pintar…..”
“Sayangi ibumu…dia sudah susah-susah merawatmu, dengarkan nasehatnya, berbaktilah kepadanya, ayah akan cari uang….mungkin tak kembali lagi……” begitu kata yang kuingat dari ayahku.
Ibu sudah tak mampu mengurusiku, apalagi membisikkan kata-kata atau petuah lewat telingaku. Ibu sudah kapok mengurusiku dan berceloteh di depanku, setiap kali ibu melihat tingkahku yang kelewatan ibu hanya diam, memegang dadanya, dan berkata :”Duh gusti…..paringono sabar lan hidayah marang anakku iki….”.
Aku memang anak yang sudah kelewatan….hampir tiap malam aku keluar malam dan menggemparkan tetangga dengan suara motorku. Pagi-pagi aku pulang dengan baju lusuh layaklnya pengemis dan gelandangan. Malam-malamku selalu kuhabiskan untuk bersenang-senang. Bukankah hidup ini adalah kemudahan seperti kata pramudya tinggal makan, minum, dan berbuat kebajikan….Meski tetanggaku selalu meneriakiku dengan kata-kata serapah….aku tak peduli….aku tak merasa bersalah terhadap mereka,,,pada ibuku pun tidak…..aku orang bebas…begitu kata hatiku seperti yang dicita-citakan rakyat perancis waktu itu.
Lama-lama, Ketidakwajaranku dianggap sebagai sesuatu yang biasa oleh tetanggaku. Mereka sudah terbiasa dengan ulahku entah itu berteriak di malam hari sambil menikmati lagu-lagu dangdut, atau suara motor YAMAHA GL PRO yang bikin telinga mereka pecah, atau suara uring-uringan dengan ibuku yang membikin mereka menjadikanku tontonan karena penasaran dengan kelakuanku terhadap ibu. Hal ini mereka lakukan karena takut terjadi sesuatu pada ibu. Selain itu, mereka sudah memasrahkanku pada takdir dan hukum karma yang biasa mereka percayai lewat mitos-mitos yang tak rasional. “Sopo salah seleh” [siapa yang salah pasti akan mendapatkan jawaban]. “Dasar!!! orang desa” begitu gumamku,
Ayah sudah lama meninggalkan kami sejak aku lahir. Ayah baru datang ketika aku berusia 17 tahun waktu kelas tiga SMP. Kehidupanku yang akrab dengan buku-buku bacaan dan televisi, serta fasilitas yang serba mewah tak membuatku semakin mengerti arti kehidupanku. Aku ibarat itik ditinggal induknya, meski ibuku menemaniku di tiap malamku.
“Ndin, belajar toh ndin…….nilai pelajaran matematikamu buruk terus…..kasihan ayahmu……ia kerja untuk kamu…….”begitu ibuku bertanya di malam minggu.
“Ibu ini apa sih bu…..ini andin juga sedang baca!!!”, Ibu tahu pramudya gak bu???ibu tahu aristoteles gak bu? Atau ibu tahu kisah sukarno?…..Hebat loh bu……………,
“Yah……kau ini nduk…nduk…dikandani ngeyel……ibu kan Cuma lulusan SD…..mana tahu itu semua????yang ibu tahu angka-angka ulanganmu itu loh…Cuma 1,2,3,4,5…….gimana nih……sakjane koe kie yoh pinter,……ning ndablek……….!!![sebenarnya kamu itu juga pandai,,,,tapi malas].
“Goblok….!!” Dasar lulusan SD……gak tahu apa-apa malah nasehatin aku……Dah….aku malas sinau.Tiba-tiba “Tarr………….”piringpun melayang menjadi korban amarahku.
Melihat itu,ibu menangis dan melelehkan air matanya.Tubuhnya yang ringkih hanya bisa menatapku sambil memegang dadanya. Tak kuat menahan tubuhnya yang sudah uzur, ibu jatuh pingsan….melihat itu…aku langsung saja cabut tancap gas….dan cuek tak peduli.
Esok paginya ibu sadarkan diri. Aku seperti anak yang kehilangan kasih sayang ayah. Ayah memang lebih lekat dan lebih dekat dengan anak perempuan, seperti kebiasaan orang selama ini, aku tak tahu teori ini ternyata sudah ditulis oleh para pemikir lampau seperti freud, simone de behavior, dan pemikir lain.
“Bu…..ibu sudah sembuh,,,,,”entah malaikat mana yang datang merasukiku. Aku seperti luluh dan tak berdaya melihat ibuku terbaring di amben1 . Matanya lelah, usianya yang sudah senja mengalahkan garis wajahnya untuk sekedar melekukkan senyuman kepadaku, tapi matanya masih cemerlang menerkam ke arahku dingin.
“Ada apa toh nduk…?”Ibu akan sembuh kok nduk….”
“Ibu…..bapak kemana?kapan bapak pulang???”tanyaku.
“Uhuk,,,,uhuk,,,,,cuih(suara ibunya meludah)……tolong ambilkan ember nduk…….”
Tanpa banyak bicara aku sediakan ember yang diminta ibu, hanya untuk mendengar kabar dari ayah.
“Sini nduk…..tak ceritani…….” [Kesini nak….aku mau cerita]
Tiba-tiba ingin sekali aku menyandarkan diri ke pelukan ibu. Air mataku mengalir pelan bagai mata air di gunung-gunung. Aku merasa telah menyakiti ibu. Ibu sudah sabar mengurusiku. Meski aku sebenarnya merindukan ayah, ayah yang tak kulihat sejak aku lahir. Aku bingung, ketika Tanya teman-temanku menyerbuku. Entah anak haram, entah anak janda tua, anak temon, dan berbagai hinaan lain menyerbuku menggebu-gebu. Ibu, kali ini anakmu menyentuhmu, ingin menumpahkan kerinduan pada ayah, menjadi rasa sayang pada ibu.
“Ayahmu adalah pekerja keras, ayahmu tidak pernah mengeluh dengan kehidupannya disana. Malaya adalah negeri yang sebenarnya bukan cita-cita ayah. Ayahmu merasa sesak disana, ia bertahan dengan sikasaan para petugas keamanan disana yang kadang memergoki ayahmu karena tak membawa surat resmi”.
Ayahmu…terakhir kali ia kerja di pabrik motor cina disana, asap menghiasi tiap harinya. Ayahmu….adalah kekagumanku. Tapi saat ini semua itu sudah berubah nduk.
“Kenapa Bu??”Sambil mengangkat kepalaku dan menatap mata ibu.
Itulah yang aku tak tahu, Ayahmu hanya mengirim uang untukmu. Sambil menunjukkan surat dari suaminya.
“ Ini uang untuk anakmu dan hidup satu bulan, rawat anak kita yah…..aku tahu ia pasti merindukanku”
Doamu yang ku harap sayang…
Suamimu.Parno.
Tiba-tiba saja ketika aku dan ibuku asyik bercengkerama.
“Nem…..nem……coba kesini…….!! Kemari nem!………………………..cepet, kesini, nem……..!dok…dok…dok….tetanggaku sebelah berteriak kencang memanggil ibuku seperti ada sesuatu.
“Coba kamu kesana nduk…..……uhuk…uhuk……”
Tanpa membantah seperti biasanya, aku langsung ke tempat tetanggaku. Melihat apa yang ingin dikatakan dan dipertunjukkan oleh tetanggaku.
“Ini nem…..ini nem……..!aku dikejutkan tayangan televise yang mempertontonkan lelaki ringkih, dari usianya kulihat sudah 50 tahunan.
(Reporter berita mulai berbicara)
“Suparno seorang warga negara Indonesia tiba-tiba menjadi sosok yang menggemparkan. Polisi menangkapnya di tempat hiburan terkenal di Asia funny. Ia menjadi sosok yang mengejutkan dunia pemberitaan Malaysia, yang karena ulahnya membakar tempat hiburan itu”
Kamera televise itu tiba-tiba mengarah ke tulisan yang masih tersisa asap yang pekat bekas pembakaran. “Indonesia, aku mohon maaf…aku tak bisa berbuat banyak, kecuali melawan mereka, mereka sudah tidak punya perasaan, menghina indon dan negeri kami, kami disiksa, dihisap seperti tak ada lagi kehidupan untuk mendapatkan ringgit”
Nak……jadilah petangguh, yang tak seperti bapakmu,,,bapakmu sudah melawan…..melawan dengan ketidakberdayaan….Meski ia kalah….ia sudah melawan…..
Tiba-tiba saja mataku dikejutkan oleh nama yang tertera di tembok itu, SUPARNO LULUSAN SD
*) Penulis adalah mahasiswa Universitas muhammadiyah surakarta, bergiat di komunitas tanda tanya, tulisan tersebar di Media indonesia, suara merdeka, SOLO POS, dll.. Finalis lomba Essay Tempo Institute 2009 dll. Kontak di : arif_love_cinta@yahoo.co.id