Merindukan Kehadiran Negara
Oleh Arif Saifudin Yudistira
Akhir-akhir ini negeri ini kembali diguncang teror yang mencekam. Selain daripada teror kemiskinan, kecemasan akan keselamatan, kini hadir teror yang mengusik warga negara kita akan kerukunan umat beragama. Selama sepuluh tahun hubungan umat islam dan kristen dan umat yang lain yang sudah terbina terusik dengan berbagai kasus yang mencekam umat beragama. Belum selesai dan belum sempat negara memikirkan teror kemiskinan, dan teror adanya penyelewengan hukum oleh para politisi dan para koruptor, negara ternyata belum mampu juga menciptakan keamanan, ketenangan dalam melindungi warganya.
Minggu, 25/9/2011 bom bunuh diri kembali meledak di kepunton solo. Bom bunuh diri ini menandakan dan menunjukkan kembali bahwa pemerintah atau negara telah gagal melindungi warganya. Bagaimana bisa selama puluhan tahun intelijen kita dilatih dan dihidupi negara untuk menjamin keselamatan warganya dari aksi-aksi terorisme ternyata masih gagal dalam kerjanya. Intelijen kita ibarat mati diujung tanduk. Mereka seperti tidak berdaya di negerinya sendiri. Intelijen kita justru seperti anak emas penguasa yang hanya menurut ketika diciptakan untuk mengalihkan isu-isu politik kenegaraan. Akibatnya kesan yang muncul di masyarakat kita, intelijen kita adalah pelindung dan pengaman penguasa yang sangat gesit dan sigap ketika SBY mau dibom, tetapi gagal ketika rakyatnya sendiri mendapatkan teror bahkan mengalami kematian.
RUU intelijen yang digadang-gadang sebagai alasan untuk meningkatkan kinerja para intelijen di republik ini akan semakin tidak ada buktinya ketika intelijen indonesia kerjanya masih seperti ini. RUU intelijen menurut adnan buyung nasution dianggap sebagai reaksi pemerintah yang paranoid untuk melindungi kekuasaannya. Padahal sejatinya esensi dari dibentuknya intelijen negara adalah untuk menciptakan keamanan dan ketenteraman warga negara.
Penyelesaian normatif
Fungsi negara sebagai pelindung keamanan rakyat ternyata belum mampu diwujudkan. Setelah belum lama kita mendapatkan berita bahwa negara gagal melindungi warganya sekitar 661 pemudik yang lebih besar dari bencana tsunami di aceh dan wasior. Kita dikejutkan kembali dengan bencana teror di solo ini. Dengan menghilangnya nyawa sebanyak tersebut negara tidak meminta maaf kepada warganya atau bahkan mengundurkan diri. Tetapi seolah-olah berekspresi tidak ada apa-apa. Maka sikap para kepala negara terhadap warganya ketika terjadi bom disolo pun demikian halnya. Muncul pernyataan retorik dan seolah-olah menenteramkan rakyatnya. SBY mengutuk pelaku bom, SBY menyindir intelijen, SBY menginstruksikan para polisi untuk mengusut tuntas. Tapi belum muncul pernyataan maaf dan mengundurkan diri karena SBY gagal melindungi teror yang ditujukan kepada warga negaranya.
Sikap dan solusi yang ditampakkan oleh presiden kita adalah pernyataan normatif sama ketika kasus-kasus sebelumnya terjadi. Kegagalan para petinggi negara ini tidak dibayar dengan pernyataan sikap yang jelas dan pengunduran diri mereka karena gagal menegakkan keadilan dan keamanan di negerinya. Hal ini jelas berbeda dengan sikap perdana menteri jepang Yoshio hachiro yang mengundurkan diri gara-gara menyampaikan pernyataan yang kontroversial (12/9/2011) dan yoshio menyampaikan minta maaf kepada rakyat jepang meskipun baru dilantik.
Aparat penegak hukum kita dinilai sebagai aparat yang bekerja secara reaktif. Sehingga pemerintah dan aparat ribut setelah ada kasus atau kejadian. Pemerintah belum efektif dan tidak tanggap terhadap strategi antisipatif. Penyelesaian konflik atau teror bisa dihentikan dengan langkah antisipatif dengan menyelesaikan kasus-kasus yang menyangkut nama baik atau citra kepolisian dan penegak hukum di negara kita. Misalnya saja menyelesaikan kasus rekening gendut polri?, menghilangkan citra buruk jaksa dengan membuktikan kepada rakyat tidak ada lagi jaksa yang terkena atau tersangkut kasus korupsi. Ini perlu dilakukan untuk mengembalikan citra penegak hukum kita dan sebagai bukti bahwa negara benar-benar bisa menunjukkan bahwa para penegak hukum adalah para penjunjung tinggi hukum kita. Bagaimana mungkin rakyat akan percaya kepada hukum di negeri ini ketika para penegak hukumnya adalah para pelanggar hukum.
Seandainya negara hadir di tengah masyarakat maka konflik yang mengatasnamakan agama tidak akan pernah terjadi. Negara yang diwakili pemerintah, sangat lemah sehingga sumbu mudah tersulut. Misalnya, kalau politisi dan polisi negara bekerja dengan baik, tentu tidak akan ada polisi partikelir yang menggantikan peran mereka (Ahmad syafii maarif). Kehadiran para pelaku bom bunuh diri, para terorisme adalah wujud bahwa mereka tidak puas dengan hadirnya negara yang tidak mampu menyelesaikan persoalan mereka. Sehingga mereka membuat pengadilan sendiri, mereka menciptakan hukum sendiri, dan menciptakan jalan keluar sendiri dengan melakukan teror dimana-mana.Pertanyaanya kemudian mampukah negara hadir ditengah-tengah kita?ketika negara tidak mampu hadir di tengah-tengah kita, maka sudah selayaknya kita menciptakan negara yang bisa hadir di tengah-tengah kita salah satunya dengan mengganti para pemimpinnya yang mampu membawa negara ini lebih baik sebagaimana harapan kita.
Arif Saifudin Yudistira
Penulis adalah Presidium kawah institute indonesia, belajar di Universitas Muhammadiyah surakarta
Naskah diterima Redaksi 10/6/2011 23:58:54