Diskusi Buku: Peta Jalan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) gelar Diskusi Buku: Peta Jalan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia” pada Sabtu(26/10). Kegiatan tersebut bertempat di Educators Hall Kampus 4 UAD. FKIP menghadirkan Fathul Wahid (Koordinator Penulis Buku), M. Rofiq Mudzakkir (Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah), dan Dwi Sulisworo (Ketua Program Studi S-3 Pendidikan UAD) sebagai narasumber pada diskusi ini.
Dekan FKIP UAD, Muhammad Sayuti, mengungkapkan bahwa FKIP berambisi untuk memberikan diskusi yang menarik terkait pendidikan. Menurutnya, buku ini merangsang kampus-kampus islam untuk berkontribusi dalam membangun masa depan.
“Kita bisa berdiskusi untuk memberikan kontribusi dalam perkembangan pendidikan di masa yang akan datang,” ujar Sayuti.
Ahmad Jainuri, sebagai perwakilan dari Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menyampaikan apresiasinya atas kegiatan bedah buku ini. Menurutnya, diskusi bedah buku sangat menarik untuk menunjukan suatu aktivitas akademik. Ia berharap kegiatan seperti ini dapat berlanjut dengan diskusi lainnya.
”Bedah buku seperti ini harapannya dilanjutkan dengan bedah hasil penelitian dan sebagainya yang menunjukkan aktivitas akademik,” ungkap Ahmad.
Bersama Fathul Wahid
Di Indonesia, terdapat banyak perguruan tinggi Islam, namun perannya masih kalah dari perguruan tinggi negeri dalam hal strategisitas dan kontribusi terhadap masyarakat. Padahal, secara kuantitas, perguruan tinggi Islam telah berkembang pesat. Mengapa jumlah yang banyak tidak sebanding dengan peran yang lebih strategis? Pertanyaan tersebut menjadi topik utama dalam diskusi buku Peta Jalan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia bersama moderator Suyatno.
Fathul Wahid, yang juga merupakan Rektor Universitas Islam Indonesia, memaparkan gagasan utama buku Peta Jalan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Menurutnya buku ini lahir dari kegelisahan akan kondisi perguruan tinggi Islam di Indonesia. Meskipun jumlahnya banyak, namun perguruan tinggi islam belum berkembang secara signifikan, terutama dalam kontribusi ilmu pengetahuan. Terinspirasi dari sejarah, pengembangan sains menjadi strategi utama untuk mengejar ketertinggalan.
Selain itu, Fathul juga menyampaikan tiga fase perkembangan sains dalam sejarah islam yang tercantum dalam buku tersebut. Fase pertama berfokus pada penguatan fondasi teologis di masa Rasulullah dan beberapa khalifah awal. Kemudian fase kedua mulai muncul adopsi dan interaksi dengan dunia luar di masa Dinasti Bani Umayyah I. Selanjutnya pada fase ketiga berlangsung pada masa Dinasti Abbasiyah, Fatimiyah, dan Umayyah II dengan reproduksi ilmu dan diseminasi.
“Sehingga kita ingin buku ini memantik diskusi lanjutan. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana caranya? Apakah berbasis data, jika iya, data yang seperi apa?” Ungkap Fathul.
Fathul juga menekankan bahwa buku ini merumuskan peta jalan khas Indonesia dalam pengembangan sains. Terdapat 3 peta jalan dalam pengembangan sains: berbasis dukungan negara, kebutuhan pasar, dan aktivitas ilmiah.
Bersama M. Rofiq Mudzakkir
Selanjutnya, Rofiq Mudzakkir mengelaborasi beberapa isu penting yang terdapat dalam buku Peta Jalan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Menurutnya, buku ini memiliki keunggulan dalam beberapa aspek, di antaranya: (1). Penyajian analisis yang komprehensif dengan memahami akar masalah perguruan tinggi Islam melalui tinjauan masa lalu dan proyeksi masa depan; (2). Pendekatan sejarah sosial dan intelektual yang memperkaya diskusi melalui gagasan pemikir Muslim; (3). Berbasis data empiris kuantitatif; serta (4). Upaya serius untuk melepaskan diri dari eurosentrisme epistemik.
Selain itu, Rofiq juga menanggapi bahwa ada optimisme terhadap sejarah Islam yang menjadi cara pandang mendasar dalam buku ini. Ia juga menyoroti beberapa refleksi kritis pada buku ini. Kemunduran peradaban Islam menurutnya merupakan fenomena modern. Modernisasi tersebut menghentikan tradisi polimatik yang pernah berkembang dalam sejarah Islam. Rofiq juga turut menyinggung turbulensi politik yang memengaruhi dinamika ilmu pengetahuan. Termasuk isu dikotomi antara agama dan sains. Selain itu, modalitas paradigma integrasi juga Ia singgung untuk memperkuat peran perguruan tinggi Islam di Indonesia.
”Sekarang mungkin kita perlu melihat suatu kemodernan dengan cara yang berbeda,” ungkap Rofiq.
Bersama Dwi Sulisworo
Kemudian Dwi Sulisworo memberikan tanggapan positif terkait buku Peta Jalan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Ia mengajak pembaca untuk merefleksikan makna Islam dalam dunia pendidikan. Menurutnya, buku ini menyampaikan semangat positif seperti mozaik yang merangkum berbagai perspektif keilmuan penulis.
Selain itu, Dwi melihat buku ini sebagai upaya yang positif dalam menyatukan perspektif keilmuan untuk mengangkat marwah Islam dalam pengembangan sains dan teknologi. Namun, ia menyoroti pentingnya menghindari dikotomi antara Islam dan non-Islam, serta berfokus pada pembangunan yang inklusif bagi seluruh masyarakat Indonesia. Ia juga menekankan perlunya peran perguruan tinggi Islam dalam meningkatkan daya saing nasional dengan lebih banyak mencetak lulusan yang memiliki keahlian saintifik dan berinovasi. Dwi juga membahas mengenai Isu-isu seperti daya saing bangsa, potensi pasar, dan daya ungkit teknologi pada industri nasional. Hal itu menjadi tantangan utama perguruan tinggi Islam agar dapat berkontribusi lebih signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan bangsa.
“Masing-masing tetap punya kontribusi yang sama dalam membangun masyarakat. Kita tidak bisa mengatakan membangun masyarakat itu hanya pada masyarakat islam. Kita bertanggung jawab juga pada pembangunan masyarakat secara keseluruhan,” ungkap Dwi.
Hadir pada diskusi ini Perwakilan Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Rektor, Wakil Rektor, dan dosen dari beberapa universitas se-DIY dan Jawa Tengah.
(ql)