Nubuwat
Oleh Rachmad Resmiyanto
Pagi ini Yogya nampak tua. Di sudut-sudut kota, debu-debu berhamburan ke segenap penjuru. Mobil-mobil yang merayap di jalanan semuanya kusam kelabu. Rumah-rumah penuh dengan lumuran debu. Gedung-gedung yang menjulang tinggi terasa sepi, tak terawat lagi. Meski pagi ini tak hujan, banyak orang keluar dengan jas hujan. Beberapa yang lain pergi membawa payung. Semua orang di jalan mengunci mulutnya rapat-rapat. Komunikasi cukup dilakukan dengan bahasa isyarat. Suasana kota amat mencekam. Pagi ini Yogya benar-benar nampak begitu tua. Kota yang biasanya penuh tenaga ini, kini telah menjadi sebuah desa tua.
Aku berjalan dalam gegas menuju rumah. Kubersihkan seluruh debu di sekujur tubuh. Saban pulang dari luar kota, istriku selalu dengan hangat menyambutnya. Sesaat sebelum aku mengetuk pintu, ia sudah membukakannya buatku. Sebelum aku sempat mengucap salam padanya, ia telah mendahului bersalam kepadaku. Dan segenap lelahku selama di luar kota langsung menguap tiap kali ia mengembangkan senyum. Tangannya langsung menuntunku menuju perjalanan yang begitu indah. Inilah kebiasaannya sejak kami menikah 3 tahun silam.
Tapi, pagi ini berbeda. Aku sama sekali tidak mendapati itu lagi. Sudah kususuri seluruh petak dalam rumah kecilku. Tak ada pesan di meja. Tak ada secarik kertas di kasur. Tak ada kabar di kotak masuk sms. Nomor dia juga tidak aktif.
Selama ini, jika istriku pergi, ia akan selalu meninggalkan pesan. Kadang di meja makan, sesekali ditaruh di kasur. Buat urusan pesan, ia jarang menggunakan HP. Baginya, HP itu hanya mengganggu kenyamanan hidup. Ia lebih percaya pada kekuatan hati. Ia sangat perasa. Ini tak menunjukkan ia perempuan cengeng, mudah tersinggung atau suka kalap dalam segala jenis peristiwa. Tidak.
Satu kali, mendadak ibu dan bapak mampir ke rumah kami. Benar-benar dadakan. Tak ada sedikitpun kabar lewat sms atau telpun. Hari itu, istriku masak besar. Aku sempat cari tahu kepadanya. Ia hanya menggeleng, sedikit bersuara bahwa tiba-tiba ia ingin masak besar saja. Bukankah tidak setiap tindakan perlu alasan yang rasional?
Aku hanya bisa menggerutu kecil. Serumah cuma kami berdua. Kalau sampai ada makanan yang sisa, maka itu namanya kufur nikmat. Dan jika sudah begitu, ia dengan memelas mohon maaf, memintaku buat menarik ucapannya.
Istriku tak ingin sedikitpun aku marah. Ia sangat takut jika sewaktu-waktu ruhnya dicabut dari jasad dalam keadaan aku marah. Katanya, tiap hari yang selalu dicari ialah hanya ridhaku. Seperti yang sering disampaikan asatidz, ketika seorang perempuan sudah bersuami, maka surga neraka dia sangat bergantung pada ridha suami.
Dan hari itu, masakan yang banyak itu memang dipersembahkan buat ibuku. Tak ada sisa. Aku juga heran bagaimana ini terjadi. Semua tanpa ada berita bahwa ibu dan bapak akan mampir ke rumah.
Di mana istriku sekarang?
Aku terus berpikir mencari jawabnya, menghitung segala kementakan. Tidak mungkin ia sedang berada di rumah Mutia. Tadi aku lewat depan rumahnya, terlihat sepi saja. Jika Mutia ada di rumah pagi-pagi begini, gorden putih di jendela kaca besarnya selalu disingkap. Tidak mungkin juga di rumah Ruqayya. Apalagi di rumah Sumayyah.
Lalu di mana istriku? Apa istriku pulang ke Sleman? Ah, itu tidak mungkin. Istriku selalu minta ijin jika hendak menjenguk ibunya.
Ini masih pukul 10 pagi. Aku ambil air wudhu, shalat dhuha 4 rakaat. Usai munajat, aku mengangsur Al Quran di sudut kamar. Rupanya ada kertas yang terselip di sebuah lipatan halaman. Kubuka dengan seksama. Kini terbentang surah al Zalzalah di depan mata. Kertas kecil itu tidak bertuliskan pesan apapun. Hanya tertera sebuah tanggal diikuti kata Allah dan 3 kali tanda titik. Tinta tulisan sudah sedikit kabur, seperti bekas terkena lelehan air bening. Jarak tanggal itu dengan hari ini sudah 3 bulan berlalu. Tulisan itu sangat aku kenal. Itu adalah tulisan istriku.
“Ada apa dengan tanggal itu? Kenapa istriku menyelipkannya di sini?”, aku bertanya-tanya sendiri.
Kuputar pita rekaman di kepalaku pada tanggal itu. Ya, itu hari dimana aku ditunjuk Pak Dekan menjadi ketua tim jaminan mutu fakultas. Tapi, apa hubungannya?
Apakah istriku tak suka dengan jabatan baruku? Apa hubungan jabatanku dengan kegoncangan bumi? Apakah jabatanku akan menggoncang keimanan dan keteguhan hidup?
Lama sekali aku tercenung. Kini aku teringat. Siang hari terima SK, malam hari ia menangis dalam pangkuanku. Ia hanya bilang, “Aku melihat Merapi bergolak mas. Aku sangat takut.”
“Maksudmu?”
Ia hanya menggelengkan kepala, sedikit saja dan perlahan sekali.
Aku tenangkan istriku. Kudekap erat. Kuseka air matanya. Kuyakinkan bahwa itu hanya rasa was-was yang ditiupkan setan saja. Tak usah dihiraukan. Malam itu, aku mengajaknya bertamasya. Maka hanya kedamaian yang kemudian menyungkup kami berdua.
Istriku sering meracau. Dalam banyak kesempatan, acapkali Ia serta merta bilang sesuatu yang sulit aku pahami. Tiap kali kutanya apa maksudnya, ia hanya menggeleng.
Aku tersentak. Jantungku berdegup kencang. Nafas menjadi tersengal-sengal. Pagi ini, langit Yogya menebar abu ke daerah Sleman dan Kulon Progo. Bahkan wilayah Kota dan Bantul yang relatif jauh dari gunung Merapi juga terkena tebaran abu. Pagi ini, aku benar-benar mendapati apa yang ia katakan malam itu. Aku baru tahu apa yang terjadi pagi ini setelah sampai di stasiun Tugu. Selama satu pekan di Bandung, aku mengikuti pelatihan jaminan mutu untuk perguruan tinggi. Pelatihan itu sangat ketat. Seluruh alat komunikasi kami dikumpulkan di panitia. Tidak juga disediakan surat kabar buat tahu berita saban hari. Praktis, kami benar-benar terkurung.
Lalu di mana istriku?
Aku terpaku membaca ayat demi ayat al zalzalah itu. “Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya yang dahsyat. Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat yang dikandungnya. Dan manusia bertanya, mengapa bumi jadi begini?..” Aku tercekat. Tak kuasa meneruskan.
Tut tut tut tut…
Ada satu pesan masuk.
“Salman sudah sampai di rumah? Istrimu ada di sini.” Ternyata ibu mertuaku kirim sms.
Hatiku lega. Perasaan plong menyesaki rongga dada. Syukurlah jika ia memang pulang ke rumah ibunya. Aku tak perlu lagi memelihara rasa kuatir.
Dalam gerimis hujan abu, kujemput ia. Sepanjang perjalanan Yogya benar-benar kusam. Tumbuh-tumbuhan seperti kesakitan menahan beban abu yang menghinggapinya. Banyak pepohonan yang tertunduk lesu. Dan seturut mobilku di jalanan, seolah aku seorang cowboy yang memacu kuda di jalanan berdebu. Jalan kotor sekali. Lapisan abu vulkanik sudah hampir tiga centimeter tingginya.
Istriku kekasihku sudah di sampingku lagi. Istriku kekasihku kini telah berada di rumahku kembali. Betapa aku berbahagia akhirnya.
“Mas, bagaimana menurutmu, jika seorang kekasih menginginkan kekasihnya?” Istriku membuka bicara setelah satu pekan kami berpisah.
“Maka demi cintanya, sang kekasih harus menyatu dengan kekasihnya”
“Jika memang itu jawabmu, aku suka dengan itu.” Istriku mengembangkan senyuman.
“Tentu saja dinda. Bukankah hari-hari seperti ini kita senantiasa menjadikannya sebagai hari yang indah? Yang ada hanya kita berdua.”
Istriku hanya menambah senyumnya. Kedua bola matanya memandang merunduk. Setelah satu pekan keluar rumah menjalani hari-hari yang berat, wajah istriku membuatku bahagia. Dan aku tak sabar untuk bersegera mendekatinya.
“Jangan sentuh aku mas. Kumohon.” Istriku perlahan menjauhiku. Mencoba melepaskan sahutan kecil tanganku.
“Kenapa? Bukankah ini ajaran junjungan kita? Aku usai bepergian jauh dan inilah yang dianjurkan Nabi. Hari ini juga bukan siklusmu. Bukankah dinda juga tidak sedang berhalangan?”
“Iya mas. Aku tidak berhalangan. Iya, apa yang kau inginkan adalah juga anjuran Nabi.”
“Lalu, kenapa dindaku? Ada apa sebenarnya?” Aku kian penasaran. Perlahan amarahku merayap ke kepala.
Istriku terus memohon agar aku tak menyentuhnya. Ia mengangsur kakinya sedikit demi sedikit menjauhiku. Semakin aku mendekatinya, ia kian berusaha menjauh.
“Kenapa dinda?”
“Mas, ceraikan aku sekarang!”
Kalimatnya seperti halilintar. Sambarannya menyentak hati keras sekali. Detak jantungku langsung berkejaran.
“Dinda, bukankah selama ini kau tiap hari hanya menginginkan ridhaku? Tidak takutkah engkau dengan ancaman baginda nabi?”
Dalam khazanah kenabian, seorang istri dilarang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas. Istri yang demikian kelak hanya akan menemui neraka di hari kemudian.
“Dinda, sudah lupakah engkau dengan ceritamu setahun lalu, bahwa engkau akhirnya menerimaku setelah engkau seolah melihatku dalam busana yang serba putih, berjalan lurus tidak sedikitpun menoleh kiri kanan. Dalam jalanku itu, tangan kananku turut menggandeng tangan kirimu.”
“Aku masih ingat mas. Itu tiga tahun silam, ketika suatu siang engkau melamarku. Dua hari sebelumnya aku melihat itu. Untuk itulah aku langsung mengiyakan lamaranmu.”
“Terus kenapa engkau meminta cerai? Apakah kadar cintaku tak lagi sehangat dulu dinda?” Aku mencoba mendekati istriku dengan lebih lembut.
“Tidak mas. Engkau pribadi yang baik. Engkau lelaki yang tak pernah mengayunkan tangannya kepadaku kecuali dengan penuh kelembutan.”
“Lalu, kenapa cerai?”, suaraku menaik.
“Seperti yang aku tanyakan ke mas tadi. Bukankah menurut mas, jika seorang kekasih menginginkan kekasihnya, maka demi cintanya, sang kekasih harus menyatu dengan kekasihnya”. Istriku terisak. Air matanya mulai mengucur deras.
“Betul dindaku. Dan bukankah aku adalah kekasihmu, sebagaimana engkau adalah kekasihku.”
Istriku tersenyum kecil. Hangat terasa. Sepertinya istriku sudah bisa aku dekati lagi. Tatkala aku hendak mendekat, istriku bergumam lirih. Ia berkisah bahwa dalam satu pekan ini, ia melihat pakaian yang aku kenakan sudah tak lagi putih bersih. Katanya, aku memakai kain warna abu-abu dan beberapa kali warna gelap. Baginya itu adalah pertanda, genggaman tanganku sudah harus dilepaskan. Ia tak ingin berkhianat kepada petunjuk Tuhannya.
Aku menduga ia sedang terjebak fatamorgana dalam jalan ekstase ini. Aku mengenal betul ia. Jika ia sudah memegang pendapat, sulit sekali buat melunakkannya. Maka aku tawarkan buat sowan ke kiai Banjari di Babadan. Kiai Banjari merupakan kiai yang mukasyafah.
Tak kuduga, ternyata ia menolaknya.
“Mas, tahu apa sih orang lain terhadap keyakinan hatiku? Apa hak mereka untuk menghakimi keyakinanku? Allah sudah menghamparkan petunjuk kepadaku, aku tak peduli lagi padamu. Aku hanya takut kepada-Nya.” Istriku masih dalam tangisnya.
Rasanya, bukan saatnya lagi untuk mengajaknya berpikir dengan itu. Siapa tahu dengan sedikit ekspresi kemanjaan, istriku bisa berubah.
“Dinda, jangan begitu. Bukankah selama 3 tahun kita menikah, aku adalah lelaki yang sangat mencintaimu?”
“Mas, segera ceraikan aku.Jangan lagi sentuh aku. Maaf mas, sejujurnya aku tak pernah benar-benar mencintaimu. Selama ini engkau hanya mendapatkan fisikku. Hatiku sudah sesak dengan cinta segitga antara aku, Muhammad dan Allah. Aku hanya memenuhi kerinduhan hatiku dengan shalawat atas Nabi dan tahmid kepada-Nya.”
Aku merasa semua gelap. Senyap.
Kalibening Salatiga – Klaten, Rajab 1432 H (Juni 2011)