Kajian Bulanan: Teologi Al-Alaq, Mengukuhkan Basis Ilmu Pendidikan dan Pembelajaran Islami
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) gelar Kajian Bulanan FKIP UAD Periode Juni 2024, Sabtu(29/6). Kegiatan bertempat di Selasar Dekanat FKIP Lt. 7 Kampus 4 UAD dengan penanggung jawab kegiatan dari Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UAD. Hadir pada kegiatan ini seluruh civitas academica di lingkungan FKIP UAD.
Kajian kali ini bertema Teologi Al-Alaq: Mengukuhkan Basis Ilmu Pendidikan dan Pembelajaran Islami. Prof. Dr. Suyatno, M.Pd.I., Wakil Dekan I FKIP UAD, berkesempatan hadir sebagai penceramah pada periode ini. Dari tiga kunci utama visi FKIP UAD (Unggul, Inovatif, dan Islami), pada kajian ini Suyatno berfokus pada visi Islami. Islami yang Ia maksud adalah islami dalam pengembangan ilmu pendidikan dan pembelajaran.
Model-model hubungan Islam dan ilmu Pengetahuan
Dalam materinya, Suyatno menerangkan terkait model mengintegrasikan ilmu dan agama, di antaranya: (1). Integrasi Interkoneksi (Ian Barbour), (2). Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Naquib Al-Attas), (3). Pengilmuan Islam/Islam sebagai ilmu (Kuntowijoyo), dan Islamisasi Ilmuwan (Fazlur Rahman).
Suyatno menjelaskan bahwa dalam model Integrasi Ilmu konteksnya berasal pada sejarah ketika agama dan ilmu berada di bawah kekuasaan gereja. Dalam sejarah tersebut terjadi suatu bencana atau konflik yang menyebabkan munculnya masa kegelapan peradaban barat. Kemudian berlanjut pada masa independensi ketika agama dan ilmu pengetahuan berjalan sendiri-sendiri. Setelah perjalanan berikutnya, berlangsung dialog antara ilmuwan dan pemuka agama mengenai hubungan keduanya. Sehingga munculnya integrasi, di mana ilmu pengetahuan dan agama saling melengkapi dan mendukung demi kemajuan peradaban.
Dalam materinya, model integrasi yang bisa dikembangkan antara lain: (1). Similarisasi, (2). Paralelisasi. (3). Komplementasi, (4). Komparasi, (5). Induktifitas, dan (6). Verifikasi.
Sementara itu, Pengilmuan Islam adalah menjadikan ayat Al-Quran menjadi aksioma dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Menurut Kuntawijoyo, level ayat Al-Quran berada di atas teori sebagai aksioma, kebenarannya bersifat mutlak. Jika ingin mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan Al-Quran, harus ada keberanian untuk melakukan reinterpretasi terhadap dalil Al-Quran atau doktrin agama. Supaya ayat Al-Quran dapat menjadi teori dan masyarakat dapat menerimanya, perlu adanya objektifikasi ayat Al-Quran. Contohnya adalah perbankan syariah, yang mana sudah terjadi objektifikasi pada ayat Al-Quran terkait perekonomian.
Kemudian, pada model Islamisasi Ilmuwan terdapat pengenalan konsep double movement dalam dua pengertian: (1). Sebagai metode tafsir Al-Quran dan (2). Sebagai gerakan ilmu pengetahuan yang terdiri dari dua gerakan. Gerakan pertama yaitu membekali orang yang memiliki basis agama Islam dengan metode ilmiah dari barat. Sedangkan gerakan kedua yaitu membekali orang yang menguasai sains modern dengan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan
“Harapannya seperti yang disampaikan K.H. Ahmad Dahlan yaitu menjadi intelek yang ulama, tetapi sekaligus menjadi ulama yang intelek.” Ungkap Suyatno dalam materinya.
Teologi Al-Alaq
Dalam kajian bulanan ini, menurut Suyatno terdapat satu hal penting pada QS Al-Alaq ayat 1, menurut Suyatno. Selain pada kata ‘iqro‘ yang berarti ‘bacalah’, terdapat kata ‘bismi rabbikallażī khalaq‘ yang berarti ‘dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan’. Dalam hal ini, Suyatno mengatakan bahwa ini adalah ontologisnya pendidikan Islam. Dalam artiannya merupakan membaca bersama dengan kesadaran bahwa Allah yang menciptakan. Ayat ini juga merupakan perintah bekerja, ‘bekerjalah’. Namun bukan sekedar bekerja, tetapi juga membaca dan meneliti dengan keyakinan kepada Tuhan.
Kemudian pada ayat 3 yang berbunyi ‘Iqra` wa rabbukal-akram‘ berarti ‘Bacalah dan Tuhanmulah yang maha mulia’. Tampak bahwa perintah ‘iqro‘ muncul berulang, yang artinya membaca tidak cukup sekali. Sedangkan secara aksiologis, pembacaan terdapat ayat-ayat Allah dan kebesaran alam semesta harus mengarahkan manusia untuk memuliakan Tuhan.
Selanjutnya pada ayat ke 5 ‘Allamal-insāna mā lam ya’lam‘ berarti ‘Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya’. Dalam artinya yaitu manusia adalah makhluk yang potensial untuk berkarya melalui ilmu pengetahuan yang Ia peroleh dari Allah.
Descartes, yang merupakan Penemu Filsafat Modern, mengungkapkan teori “Cogito Ergo Sum” yang memiliki arti “Aku Berpikir Maka Aku Ada”. Sedangkan berdasarkan QS Al-Alaq sendiri adalah ‘Aku berpikir (iqra) maka aku tidak ada (fana, nisbi), karena yang ada hanya huwa (rabb)’. Hakikatnya yaitu dari proses menolkan diri, baru diisi dengan syahadatullah.
Dalam akhir kajian bulanan FKIP UAD ini, Suyatno berkesimpulan bahwa ilmuwan besar muslim memiliki basis keislaman yang sudah kuat sejak lahir karena mereka lahir dari ulama. Dari proses mengnolkan diri, keimanan terhadap tuhan sudah terpelihara dengan baik, lalu kemudian mereka belajar tentang ilmu pendidikan ke penjuru dunia. Selain itu, lambang penciptaan manusia pertama kali terkait dengan ilmu pengetahuan. Suyatno juga mengungkapkan bahwa kebenaran berasal dari Allah. Supaya kita menemukan kebenaran adalah dengan beragama utuh dan berilmu pengetahuan utuh dengan menggabungkan antara akal indra dan wahyu.
(ql Humas FKIP UAD)