Wajib Belajar 12 Tahun Menuai Kritik
Kamis, 06 Oktober 2011 08:55 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rencana Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menyelenggarakan program Wajib Belajar 12 tahun hingga SMA mengundang kritik. Mantan ketua dewan pendidikan Jawa Timur Daniel M Rosyid menilai sangat tidak tepat Kemendiknas merancang program tersebut.
Meski pada 2011 direncanakan alokasi dana pendidikan mencapai Rp 286,6 triliun atau 20,2 persen dari APBN. Namun jumlah tersebut cukup terbatas jika dibandingkan dengan jumlah puluhan juta siswa.
Karena itu, Daniel menyarankan, lebih baik anggaran terbatas itu dimanfaatkan untuk membantu memperkuat pelaksanaan pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai pondasi pendidikan putra bangsa.
Pasalnya jika layanan PAUD, sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP) di Indonesia bermutu, maka proses belajar mengajar dapat difokuskan pada pembentukan karakter siswa. Dengan begitu, anak-anak Indonesia memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi masa depannya.
“Pendidikan dasar 9 tahun kita masih dipertanyakan mutu dan perhatiannya pada karakter. Sekarang malah meluncurkan Wajib Belajar 12 tahun, kurang tepat!” ujar guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, di Jakarta, Kamis (6/10).
Daniel mengimbau Kemendiknas mau mengubah arah kebijakannya sebelum terlambat. Lebih bagus fokus pada penguatan PAUD dan pendidikan dasar yang bermutu serta fokus pada pembentukan karakter siswa.
Hal itu untuk menghindari para siswa yang bingung soal akses mendapatkan pendidikan, apalagi Wajib Belajar 12 tahun. Sebab tidak semua daerah memiliki SMA dan tidak sedikit siswa setelah lulus SMP lebih memilih bekerja membantu orang tuanya daripada melanjutkan sekolah.
“Jika PAUD dikuatkan, masalah akses bisa disiasati dengan layanan pendidikan nonformal yang lebih luwes,” kata Daniel.