Kita Belum Merdeka secara Budaya
Teriakan filsuf besar Rusia, Martin Heidegger, rupanya hingga hari ini masih hidup. Katanya, language is the house of being. Bahasa adalah rumah dari segala sesuatu.
Siang itu, Kamis, 15 September 2011 di Auditorium Kampus 2 UAD Jalan Pramuka Sidikan Yogyakarta, sejumlah 562 mahasiswa baru FKIP jurusan pendidikan bahasa tekun menyimak kuliah umum. Mahasiswa dari prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) berjumlah 241 dan prodi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) berjumlah 321. Kuliah umum disampaikan oleh Suminto A. Suyuti. Tajuknya, bahasa dan karakter bangsa.
Suminto merupakan seniman yang profesor. Ia kawan karib budayawan agung Emha Ainun Nadjib. Ia juga berteman akrab dengan Jabrohim, Dekan FKIP 2004-2008. Suminto merupakan guru besar bahasa dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Siang itu, Suminto seolah mengulang kalimat Heidegger. “Bahasa adalah rumah bersama kita,” katanya. Suminto dilahirkan di Purbalingga, 26 Oktober 1956. Ia punya motto, jadilah kreator bagi sejarah diri sendiri.
Suminto mengawali kuliah siang itu dengan sebuah sapaan unik. “Selamat siang Jogja,” demikian ia menyapa. Riuh tepuk mahasiswa kemudian membahana.
Di UAD, Suminto merasa seperti berada dalam keluarga sendiri. Tahun 1980-an ia turut serta mendirikan prodi pendidikan bahasa di UAD (saat itu masih bernama IKIP Muhammadiyah Yogyakarta). “Jadi, jangan anggap saya sebagai orang lain, liyan, the others. Tapi anggaplah saya sebagai warga UAD,” tegasnya.
Usai membaca sebiji sajak dari WS. Rendra dalam Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Sajak Seorang Tua kepada Istrinya, Suminto memberi penegasan ringkas dari sajak itu, “Kita jangan berhenti di koma, tetapi teruskan perjalanan sampai titik”.
Perjalanan bangsa kita masih panjang. Dalam ilmu pengetahuan, bangsa kita cenderung membuat kasta dalam disiplin ilmu. Kini, terjadi superordinasi bahasa Inggris terhadap bahasa Indonesia. Ini adalah ironi. Suminto merasa prihatin akan hal ini. Ia menegaskan bahwa bangsa kita lahir karena sebiji puisi yang bernama Sumpah Pemuda.
Secara retoris, ia lantas bertanya kepada segenap mahasiswa. “Tahun 1945 kita merdeka secara politik, apakah 2011 ini kita sudah merdeka secara budaya?” Ia jawab sendiri pertanyaan itu dengan begitu tegas, “Belum!”
Bahasa akan menunjukkan identitas kita. Bahasa dapat pula menjadi alat kekuasaan. Penguasaan bahasa sebenarnya membuat kita memiliki kesadaran penuh. “Karena itu, jangan setengah-setengah memasuki jurusan bahasa,” pesan Suminto. “Sebab denyut cinta Anda pasti akan hambar tanpa bahasa,” lanjutnya yang langsung disambut tawa mahasiswa. (*)