Perkuat Fiqih Ibadah di Penghujung Ramadan
Fiqih ibadah adalah ilmu yang membahas hukum-hukum syar’i terkait ibadah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menggelar Kajian Bulanan untuk Periode Maret 2025 pada Sabtu (22/3). Bertempat di Educators Hall Lantai 7 Kampus 4 UAD. Seluruh civitas Academica menghadiri kegiatan tersebut. Pada periode ini, Program Studi Pendidikan Profesi Guru dan Program Doktor mendapat kesempatan menjadi tuan rumah. Kajian kali ini terasa lebih istimewa karena dilaksanakan di bulan Ramadan, menjadi momentum untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah dan memperkuat kebersamaan dalam ibadah serta ilmu
Dekan FKIP UAD, Muhammad Sayuti, M.Pd., M.Ed., Ph.D., menyampaikan apresiasi atas komitmen seluruh civitas academica FKIP UAD dalam menjaga keberlanjutan pengajian yang kini telah mencapai pertemuan ke-23. Ia mengajak para hadirin untuk terus merawat dan membangun tradisi ini, mengibaratkannya sebagai sebuah perjalanan yang masih dalam fase awal dan membutuhkan perhatian bersama.
“Pengajian kita ini baru berusia dua tahun, masih seperti bayi. Kata masih harus merawat, menyuapi, dan memandikannya. Namun, jika kita terus menjaganya, insyaallah suatu saat ia akan tumbuh besar dan kuat,” ujar Sayuti.
Pentingnya Memperkuat Fiqih Ibadah
Pada periode ini, FKIP UAD mengangkat tema Fiqih Ibadah dengan pembicara Dr. Syakir Jamaluddin, Dekan Fakultas Agama Islam UMY. Dalam materinya, ia menekankan pentingnya meningkatkan ibadah, terutama di sepuluh hari terakhir Ramadan, sebagaimana yang Rasulullah SAW contohkan. Nabi Muhammad SAW bersama istri dan para sahabatnya memperbanyak ibadah di penghujung Ramadan, mengencangkan ikat pinggang sebagai tanda kesungguhan, serta mengoptimalkan waktu untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.
Syakir Jamaluddin juga mengajak seluruh peserta untuk meneladani semangat Rasulullah SAW dalam memaksimalkan ibadah di bulan Ramadan. Ia menekankan bahwa momentum ini bukan sekadar ritual tahunan, tetapi kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri, memperbanyak doa, serta memperkuat hubungan dengan Allah dan sesama.
Kemudian, Syakir Jamaluddin menegaskan bahwa shalat adalah tiang agama, dan meninggalkannya berarti mengingkari kewajiban utama dalam Islam. Allah SWT melarang menshalatkan jenazah orang yang tidak pernah shalat, karena hal itu bertentangan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Muhammadiyah juga memiliki pandangan serupa, menolak menshalatkan jenazah yang semasa hidupnya meninggalkan shalat.
Ia juga menjelaskan bahwa orang yang mengajak kepada keburukan dan menghalangi kebaikan memiliki sifat orang munafik, sebagaimana dalam Surat At-Taubah ayat 64-65. Menjaga shalat bukan hanya bentuk ketaatan kepada Allah, tetapi juga bukti kesungguhan dalam menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
“Jika ada tetangga, saudara, atau keluarga kita yang tidak pernah shalat, apakah perlu dishalatkan? Allah SWT dengan tegas melarang menshalatkan orang yang semasa hidupnya meninggalkan shalat, karena mereka menentang misi amar ma’ruf nahi munkar. Sementara itu, mereka yang justru ber amar munkar nahi ma’ruf mengajak kepada keburukan dan menghalangi kebaikan memiliki sifat orang munafik, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, Surat At-Taubah ayat 64-65,” ujar Syakir Jamaluddin dalam ceramahnya.
Baca selengkapnya: Pendidikan yang Menggembirakan (Memahami Karakter Mahasiswa)
Selain membahas shalat, Syakir Jamaluddin juga menjelaskan tentang kewajiban zakat yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim yang mampu. Ia menegaskan bahwa zakat bukan sekadar kewajiban, tetapi juga bentuk kepedulian sosial yang dapat membantu sesama. Dengan menunaikan zakat, seorang Muslim tidak hanya membersihkan hartanya, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat.
(el/ed: jap)