Tim Kurikulum dan Pembelajaran, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menyelenggarakan Educator Forum #8 (4/7). Kegiatan tersebut berlangsung secara blended di Ruang Kaca Barat Lantai 10 Kampus 4 UAD dan tersiar di Youtube FKIP UAD. FKIP UAD menghadirkan Dr. Alexander Masardo dan Dr. Maria Meredith (Lecture University of Gloucestershire (UoG), UK) sebagai pembicara dengan tema “Decolonizing Curriculum” bersama moderator Irfan Yunianto, S.Si. M.Sc., Ph.D.
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan forum diskusi bagi para dosen di lingkungan FKIP UAD dan pemerhati pendidikan. Selain itu, forum ini juga untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di FKIP UAD. Hadir pada forum ini sebanyak 19 dosen secara luring dan 38 dosen melalui ruang virtual. Peserta kegiatan ini terdiri dari Wakil Dekan, Ketua Program Studi, perwakilan dosen, Tim Kerja divisi Curriculum and Instructions dan divisi Kerja Sama Internasional, tamu undangan, serta staf di lingkungan FKIP UAD.
Tema ini sebagai tanggapan dari refleksi penerapan kurikulum pembelajaran di Indonesia, khususnya kurikulum di FKIP UAD. Alex mengatakan bahwa kurikulum yang berdasarkan pada kekuatan dan nilai-nilai lokal lebih tepat dan sesuai untuk Indonesia. Salah satu contoh proses decolonizing curriculum menurutnya adalah proyek Mifee di Papua. Ia juga menerangkan cara mendekolonisasi kurikulum program studi di FKIP UAD. Menurutnya, terdapat beberapa strategi penerapan dekolonisasi kurikulum di FKIP UAD maupun UAD secara keseluruhan.
Dr. Alexander Masardo (Foto: Humas FKIP UAD)
Maria menguatkan materi Alex dengan menyatakan hal penting dalam Dekolonisasi Kurikulum, antara lain: (1). Meninjau kembali dan merevisi kekuatan di setiap bidang studi; (2). Menganalisis dinamika kekuasaan dalam pengetahuan barat; dan (3). Mendorong perspektif masyarakat adat dan marginal. Artinya, melakukan dekolonisasi kurikulum di FKIP UAD dapat mengarahkan kurikulum dan praktik pembelajaran ke arah yang mengedepankan dan menonjolkan kekuatan dan nilai-nilai kebangsaan nasional. Menurut Maria, penting untuk memulai dekolonisasi kurikulum sejak dini dan dengan skala yang kecil. Mulai dengan eksplorasi semua kekuatan, nilai, dan keragaman yang FKIP UAD miliki. Kemudian, mulai untuk penyesuaian ke dalam kurikulum.
Budairi, Ph.D., salah satu peserta, memberikan tanggapannya terkait fenomena tes Bahasa Inggris Internasional di institusi-institusi Indonesia. Menurutnya, adanya tes seperti TOEFL, IELTS, DUO LINGO tersebut menunjukkan bahwa penjajahan dalam pendidikan masih berlangsung.
“Terkait dengan fenomena adanya tes bahasa Inggris Internasional seperti TOEFL, IELTS, DUO LINGO, dan sebagainya (yang oleh masyarakat global dilabeli sebagai tes terstandarisasi), sangat disayangkan hal ini pada dasarnya bagaimana (penjajahan) pendidikan (dalam hal ini pendidikan bahasa Inggris) itu benar-benar nyata dan masih berlangsung.” Ungkap Budairi dalam sesi diskusi bersama.
Selain itu, Yudiakto, Ph.D., salah satu peserta, juga menyatakan bahwa terdapat kontra pada proses dekolonisasi kurikulum. Menurutnya, aspek pendidikan di Indonesia masih memuat western perspective.
“Tentang proses decolonizing curriculum ini, tampaknya ada semaca kontra. Di satu sisi kita (Indonesia, atau lebih spesifiknya FKIP UAD) diharapkan bisa melakukan proses decolonizing curriculum kita karena ini sesuatu yang bagus dan cukup mendesak. Namun demikian di sisi lain cara kita ‘berkehidupan’ secara umum (working with everything) termasuk pada aspek pendidikan itu sendiri harus diakui masih cukup banyak memuat ‘muatan’ yang western based. In this point, decolonizing curriculum tampak bukan hal yang mudah. How to cope with this?” Kata Yudhiakto saat menanggapi materi dari Maria.
Dr. Maria Meredith (Foto: Humas FKIP UAD)
Menanggapi dua pertanyaan tersebut, Alex dan Maria mengungkapkan bahwa sangat penting bagi institusi pendidikan di Indonesia untuk tetap percaya diri dengan tes bahasa Inggris yang mereka buat dan secara konsisten menggunakannya. Menurut Maria, akan lebih bagus jika institusi pendidikan yang lain juga terdorong untuk membuat inisiatif yang sama agar praktik kolonisasi ‘penjajahan’ terhadap tes bahasa Inggris seperti TOEFL dan IELTS bisa berkurang.
Selain itu, hal penting yang harus institusi lakukan adalah perlu kepedulian dan kemampuan untuk menemukan kekuatan identitas, budaya, dan nilai mereka. Kemudian, percaya diri dalam menerapkan kekuatan tersebut dalam kurikulum dan proses pendidikan di lembaga dan negara secara lebih luas.
Alex dan Maria menegaskan bahwa dalam konteks decolonizing curriculum, perubahan bukanlah hal kecil. Perubahan memang hal yang berat, namun harus tetap dilakukan.
“It’s not a small change, and change is hard but it needs to be done!” Ungkap Maria di akhir forum.
Hal ini tentu menjadi sentilan bagi seluruh pemerhati pendidikan dan pelaksana pendidikan, bahwa pentingnya tindakan nyata untuk melakukan perubahan. Indonesia sudah seharusnya kembali ke makna dasar, kekuatan besar yang telah bangsa miliki sejak lama. Kurikulum yang menggambarkan jati diri bangsa adalah kurikulum yang seharusnya berjalan dalam pendidikan di Indonesia.
Peserta Educator Forum #8 (Foto: Humas FKIP UAD)
(yw/ed: ql Humas FKIP UAD)